Perasaan
Selalu Punya Jalan Untuk Kembali
Langkahku
terhenti seketika, sosok malaikat yang hingga saat ini masih ku kagumi,
melintas disudut mataku. Aku terkejut diam sebelum memutar Sembilan puluh
derajat tubuhku melihat sosok yang sangat ku kenal. Sosok yang masih tergambar
jelas wajahnya dalam indraku, tersimpan rapi namanya dalam pikiranku, meskipun
sudah lewat 6 tahun.
Kubisikkan
namanya yang tanpa ku sadari menjelma teriakan, ia berbalik dan menatapku sama
terkejutnya denganku. Hingga aku kembali tersadar, aku menghampirinya yang
masih menatapku tak berkedip.
Segores
senyum terukir dibibir indahnya, senyum yang membuatku luluh dan yang membuatku
selalu tenang. Aku kini berdiri tepat di hadapannya, dia masih saja diam tanpa
berucap sepatah katapun. Aku mencoba menyapanya.
“Hai?”
aku mengulurkan tanganku.
Dia
menatap tanganku sebelum membalasnya, dia menggenggamku sangat erat. Aku
menarik tanganku karena merasa risih berada lama dalam genggamannya. Dia tak
melepasku, aku memberikannya senyum dan dia masih belum lagi berucap. Sebelum
keherananku padanya hilang, dia menarik dan memelukku. Aku terkejut.
Lama
dia memelukku.
“Hai.”
Dia melepaskan pelukannya.
“Hai.”
Balasku.
“Sudah
lama tidak bertemu denganmu.” Ucapnya lagi.
“Yah.
Ku pikir sudah 6 tahun.”
“Adit.”
Seseorang dari dalam toko boneka memanggil Adit, kami melihat ke arahnya, dia
menghampiri Adit.
“Ku
pikir ini boneka ini yang bagus. Bagaimana menurutmu?” dia menggamit lengan
Adit dan memegang boneka doraemon.
“Terserah
denganmu, kalau menurutmu itu bagus menurutku juga begitu.” Adit tersenyum
kepadanya.
Dia
melihat ke arahku dengan kening berkerut, aku memberikan segores senyum.
“Oh
iya Fit. Kenalkan ini teman SMAku Sita, dan Sita ini Fitri.” Aku mengulurkan
tanganku kepada Fitri.
“Fitri.”
Membalas uluran tanganku.
“Sita.”
“Fit,
kamu bisa pulang lebih dulu?” Adit kembali berbicara pad Fitri.
“Lalu
kamu bagaimana?” Fitri menatap heran Adit.
“Aku
bisa naik taksi pulang, kamu pulanglah dulu. Aku ada urusan sebentar dengan
Sita.” Adit melihatku yang juga diikuti Fitri.
“Baiklah.”
Adit memberikan kunci pada Fitri lalu mengecup keningnya.
“Pacar
kamu?” aku bertanya setelah Fitri pergi dan Adit mengangguk.
“Kamu
tidak sibuk kan?”
“Aku
masih harus kembali ke kantor, tapi tidak apalah lagi pula masih ada 15 menit
jam istirahat.” Ucapku tersenyum.
“Singkat
yah, padahal aku ingin berbicara banyak denganmu.” Dia terlihat sedikit kecewa.
“Tidak
apa-apa, aku bisa melewatkan beberapa menit. Bosku tidak akan marah.” Dia
terlihat senang dengan ucapnku.
Kami
berjalan menuju sebuah kafe. Kami duduk berhadapan. Aku memesan cokelat hangat
dan dia memesan jus jeruk.
“Kamu
masih sama seperti dulu.”
“Apa?”
aku mengerutkan kening.
“Cokelat
hangat.”
“Oh.”
Aku tersenyum, aku tidak menyadari. Meskipun aku suka cokelat hangat, seharusnya
aku tidak memesan itu di hadapannya atau saat dia ada.
“Kamu
juga.” Aku teringa dengan pesanannya jus jeruk.
Dulu,
Adit yang mengajariku menyukai cokelat hangat, begitupun sebaliknya. Adit
pertama kali minum jus jeruk di rumahku, jus buatanku. Adit adalah cinta dan
pacar pertamaku, begitupun dengan Adit, aku adalah cinta dan pacar pertamanya.
Waktu itu kami duduk di bangku sekolah menengah atas, kami satu kelas.
Suatu
hari ketika pertengkaran orang tuaku berakhir dengan keputusan berpecerai. Aku
meninggalkan rumah dan mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Aku menuju
taman kota, duduk disalah satu bangku dengan pandangan kosong, ingin rasanya
aku menangis namun air mata serasa sudah habis. Hingga hujan lebatpun mengguyur
barulah aku meneteskan air mata, aku tidak bangkit dari dudukku ketika hujan
semakin deras, ku biarkan hujan membasahiku dan berharap membawaku pergi
bersamanya ketika ia juga pergi.
Ku
benamkan wajahku dibalik kedua telapak tanganku hingga ku rasakan lengan di
pundakku, aku mengangkat wajahku dan melihat Adit di sebelahku.
“Sudah
terlalu lama kau terkena hujan, ayo pulang.” Adit menatapku meminta.
“Tidak.
Pulanglah Adit, jangan kau mengikuti seperti ini. Kau akan sakit.” Ucapku
melepaskan rangkulannya.
“Tidak.
Aku tidak akan pulang jika kau tidak ikut denganku.” Adit keras kepala.
Akupun
memutuskan untuk pulang karena ku takut Adit sakit. Namun ketika aku mencoba
berdiri, kakiku terasa sakit. Adit melihatku dan dia langsung menggendongku di
pundaknya. Dia mendudukkan ku dimobil miliknya, aku menanyakan tentang motorku
dan dia berkata untuk tidak memikirkannya. Dia akan mengambilnya ketika hujan
mereda.
Ibu
Adit membantuku, dia membantuku mengganti pakaianku setelah itu mengompresku.
Adit datang ketika ibunya sudah membaringkanku. Aku sangat bersyukur atas
bantuan Adit dan ibunya.
“Biarkan
aku merawatnya bu.” Aku mendengar Adit berucap.
Setelah
kejadian itulah aku dekat dengan Adit, dia selalu ada saat aku sedih. Dia
selalu menghiburku dan menenangkan aku. Hingga disatu hari kami memutuskan
untuk berpacaran.
Kami
putus ketika lulus SMA, Adit memutuskan kuliah kedokteran di Belanda.
***
Aku
merasakan ponselku berdering, ku lihat foto Rizky terpampang dilayar ponselku.
Aku meminta izin pada Adit dan dia mengangguk.
“Pacar?”
Adit bertanya ketika aku sudah menyelesaikan pnggilan Rizky. Aku mengangguk.
Setelah
itu kami mengobrol lama. Adit bercerita tentang kuliahnya di Belanda, bercerita
tentang pertemuannya dengan Fitri yang juga kuliah sama dengannya. Hingga
diakhir pembicaraan kami berjanji akan bertemu lagi dihari minggu. Kami
bertukar nomor ponsel.
Sejak
kebersamaan kami menjelajahi wisata alam dihari minggu, kami kembali dekat.
Kami sering bertemu dan jalan bersama. Menikmati libur bersama.
Sudah
3 bulan kami dekat, sebulan lalu aku putus dengan Rizky kerena orang tuanya
menjodohkan dia dengan kerabatnya. Setelah itu, dua bulan lalu Adit juga putus.
Fitri menyukai salah seorang teman Adit.
Saat
ini, baik Adit maupun aku, kamu tidak memiliki hubungan dengan siapapun dan akhirnya
kami memutuskan kembali berpacaran. Kami tidak bisa membohongi perasaan dan
sekuat apapun kami menyangkal perasaan, kami tetap tidak bisa. Perasaan selalu
punya jalan untuk kembali.
~JL~
