Aku dengan caraku, karena aku berbeda. :)

Minggu, 22 November 2015

KARENA CINTA HARUS ADA UANG BERSAMANYA

KARENA CINTA HARUS ADA UANG BERSAMANYA

 “Akan kupilih cinta andai saja uang ada bersamanya, akan kupilih uang andai saja cinta tak bersamanya, dan tak akan ku pilih keduanya andai saja pilihan tak pernah ada.”
***
Aku menatap dia yang sedang memandangi gemercik hujan dari balik jendela kelas. Aku sudah mengenalnya sejak duduk dibangku kelas 1 sekolah menengah atas ( SMA ), kepintaran dan wajah rupawannya yang tak dapat membuatku mengabaikan keberadaannya. Dia adalah sosok yang bijaksana, sopan, dan pendiam. Namun di atas semua itu yang membuatku hingga kini hanya melihatnya karena aku selalu nyaman bersama dengannya.
“Apakah aku begitu tampan hingga kau menatapku seperti itu?” tanyanya mengejutkanku, ia belum mengalihkan pandangannya.
“Tentu saja. Jika saja kau tak tampan, aku tidak akan pernah mau menjadi kekasihmu,” aku melihatnya mengerutkan kening, “kau selalu saja menganggap ucapanku serius. Tentu saja tidak,” jawabku tegas, “karena kau adalah kau.” Ku goreskan senyum dengan bangga.
“Itu jawaban konyol. Memangnya ‘kau’ akan pernah berubah menjadi ‘dia’? tidak mungkinkan? berhentilah menjawab seperti itu.” Kini ia kembali memandang hujan dengan wajah marah bercampur sendu, aku tidak mengerti apa yang membuatnya begitu sedih, jadi ku ucapkan maaf.
“Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ucapku menunduk. Sebuah tangan menyentuh kepalaku, aku melihat ke arahnya.
“Jangan menunduk, maaf sudah memarahimu. Hanya saja saat kau menjawab seperti itu, aku merasa kau akan melupakanku saat orang yang lain lebih dariku datang. Itu membuatku takut.” Aku terkejut dengan ungkapan perasaannya.
“Bagiku itu tidak mungkin, hanya kau. Tidak akan ada yang lain lebih darimu, tidak akan pernah,” kataku cepat sambil menggelengkan kepala, “aku janji.” Aku meyakinkannya dan mengaitkan jaring kelingking-ku dengannya.
Itulah janji yang terucap setahun yang lalu saat kami duduk dibangku kelas 3 sekolah menengah atas, saat hujan yang dengan indahnya memperdengarkan senandung gemerciknya dan menjadi saksi janjiku kepadanya. Itu setahun yang lalu namun saat ini aku adalah mahasiswa semester 2 fakultas sastra indonesia dan dia tidak melanjutkan kuliahnya kerena alasan ekonomi.
“Aku tidak mengerti mengapa kau begitu suka memandangi hujan yang menjengkelkan. Sangat membuang-buang waktu.” Sebuah suara mengejek mengejutkanku.
 “Ahh sudahlah, Rizky. Jangan menggangguku, kau merusak suasana hatiku.” Kataku mengabaikannya dan kembali memandang hujan.
“Ah. Jangan bilang kau sedang mengingat kenangan kau dengan yang kau sebut kekasih sejatimu itu?” dia masih saja menggodaku.
“Bukan urusanmu.” Kataku ketus.
“Ah tentu saja kau sedang mengingat kekasih penjaga toko itu.” Dia mengabaikan ucapanku dan malah mencela Ardi.
“Lalu kenapa kalau dia penjaga toko? apa itu masalah hah?!” suaraku mulai meninggi, aku tidak suka ketika ada yang mencela Ardi terlebih lagi orang seperti Rizky.
“Tentu saja itu masalah, Airis. Kau pikir bisa hidup hanya dengan cinta?” katanya sambil menggoreskan senyum sombongnya.
“Oh jadi segalanya ini tentang uang. Lalu apakah uang bisa membeli cinta? Hah?!” aku berdiri berkacak pinggang dengan suara meninggi, menatapnya marah.
“Tentu saja. Uang adalah kebahagiaan, tidak ada kebahagiaan saat uang tak ada bersamanya.” Jawabnya masih dengan kesombongannya.
“Tidak ada Rizky, kebahagiaan bisa kau dapat dengan orang kau cintai meskipun uang tak bersamanya.” Timpalku masih tak ingin kalah darinya.
“Baiklah, terserah darimu Airis. Suatu saat nanti kau akan mengakui kebenaran ucapanku.” Katanya dan belalu pergi.
“Tidak akan pernah Rizky!!!” teriakku.
Aku mengerti mengapa ia berkata seperti itu, karena uang bukanlah masalah baginya. Ia hidup dengan gelimang harta, jadi itulah mungkin membuatnya berpikir semuanya bisa dibeli dengan uang termasuk CINTA.
***
Aku pulang ke rumah masih dengan perasaan jengkel. Benar-benar Rizky selalu berhasil mempengaruhi suasana hatiku. Aku tidak tahu mengapa ia selalu saja menggangguku dan membuatku jengkel bukan kepalang. Dasar laki-laki bodoh. Ah. Tidak, dia adalah laki-laki yang pintar. Aaahhh. Rizky Wikrawardhana.
Aku memasuki rumah dengan kening berkerut, ada mobil hitam terparkir di depan rumah. Siapa? tidak biasanya ada tamu.
 “Ada tamu yah bunda?” tanyaku pada bunda yang sedang asyik nonton.
“Oh itu. Temannya ayahmu,” bunda tidak melihat ke arahku, “teman ayah waktu masih tanah kelahirannya dulu.” Jawab bunda yang kini sudah melihatku.
Aku mengangguk mengerti, kalau teman ayah di tanah kelahirannya tidak ada yang ku kenali. Ayah lahir di Bendo, Jawa Timur sedangkan saat ini kami tinggal di kota Makassar, Sulawesi Selatan dan kami pindah sebelum aku lahir, jadi aku tidak mengetahui teman-teman ayah di sana.
“Kamu ucap salam sana, dia sudah seperti saudara ayahmu.” Perintah ibu.
Akupun mengampiri mereka yang duduk di halaman belakang rumah dan mereka tidak berdua ada laki-laki lain. Aku tidak melihat wajahnya karena dia duduk membelakangiku. Ayah tersenyum saat melihatku dan ketiga orang itu sekarang melihatku. Mataku langsung tertuju pada laki-laki yang sedang menatapku, laki-laki yang tadi duduk membelakangiku dan tiba-tiba aku berpikir ingin memilikinya.
“Ayah.” Ucapku dan mencium punggung tangannya, begitupun dengan teman ayah.
“Ini Airis, putriku Herman.” Ucap ayah memperkenalkanku
“Dia sudah sangat besar. Sekarang kelas berapa nak?”
“Mahasiswa semester 2 paman.” Jawabku.
“Aku mengira masih SMA ternyata sudah mahasiswa.” Ucap paman Herman. “Hanif Baru lulus kuliah loh.” Kata paman Herman ke ayah.
“Jadi sekarang Hanif kerja apa?” tanya ayah pada Hanif.
“Dosen arsitek paman.” Jawab Hanif sopan.
“Katanya baru lulus kuliah?” ayah terlihat bingung , akupun begitu.
“Kemarin ada tes dosen paman, aku tepilih.” Jelas Hanif.
“Wah beruntungnya kamu nak.” Ucap ayah senang.
“Beruntung sih Rif, tapi dipikirannya tuh belajar melulu. Udah lupa dianya nyari jodoh,” ayah Hanif mengeluh, “buat apa belajar melulu tapi lupa nikah. Airis bagaimana? Udah mau nikah?” Dek. Pertanyaan macam apa itu? Aku terkejut dengan pertanyaan paman Herman. Jawaban apa yang harus ku berikan?
“Memangnya kenapa Man? kamu mau jodohin Hanif bareng Airis?” ini lagi ayah, pertanyaan apa lagi tuh? Ku lirik Hanif yang sama terkejutnya denganku.
“Rencananya begitu Arif, kalau Airisnya belum punya calon.” Jawab paman Herman dengan entengnya. Aku heran dengan mereka, bagaimana bisa mereka membicarakan perjodohanku dengan hanif sedangkan kami berdua ada disini bersamanya.
“Tentu saja Airis belum punya calon,” ayah juga menjawab tanpa beban. Ya ampuuunnn mereka. Ingin rasanya aku mengubur diriku saat ini juga. Ayah juga, iakan tahu tentang Ardi. Mengapa ia berkata seolah tak tahu tentang Ardi? “bagaimana dengan Hanif?”
“Tentu saja tidak ada. Bagaimana pendapatmu Hanif?” Paman Herman bertanya pada Hanif, aku yakin Hanif tidak akan setuju.
“Aku hanya anak ayah, semuanya terserah darimu,” pernyataan macam apa itu? Aku terkejut dengan perkataan Hanif. Orang macam apa dia dengan mudahnya mengiyakan? Aku benar-benar menatapnya kesal, tapi tak dapat ku pungkiri kekagumanku terhadap kepatuhannya. “Ayah tahu yang terbaik untukku.” Lanjutnya, ingin rasanya aku menguburkan diriku saat ini juga. Manusia dari planet mana dia? dan juga mengapa tak ada yang bertanya pendapatku?
“Bagaiman Arif, cocok tidak anak-anak kita?”
“Tentu saja Herman,” jawab ayah mantap.
“Ayah, aku masuk dulu. Masih ada tugas kuliah yang belum diselesaikan,” pamitku, aku tahu ini cara pengecut menghindar. Ayah mengangguk. “Paman Herman aku pamit ke dalam dulu.”
“Iya nak.” Timpal paman Herman lembut. Selanjutnya aku melangkah pergi setelah memberikan senyum anggukan ke Hanif dan dibalasnya dengan senyum anggukan pula.
Aku membaringkan tubuh lelahku di tempat tidur, ingatanku kembali ke kejadian beberapa waktu lalu. RIZKY. Laki-laki menjengkelkan, teman sekampusku. Sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di kampus, mataku langsung tertuju padanya. Keceriaan selalu berada dengannya, senyum terus tergores di bibir indahnya, pesonanya tak dapat ku hindari, namun mendekatinya begitu sulit, ia adalah laki-laki dengan kecerdasan dan kekayaan berada padanya, dan dia laki-laki menjengkelkan. Namun tak dapat ku pungkiri debar jantungku saat berada di dekatnya, saat matanya menatapku tak dapat ku pungkiri bahwa aku menyukainya lebih dari rasa suka itu sendiri diartikan. HANIF. Satu nama laki-laki dengan tutur kata yang mengagumkan, paras yang mempesona dengan kesuksesan berada dalam genggamannya. Laki-laki calon imam-ku, pilihan ayah. Dia yang membuat jantungku berdebar lebih cepat saat berada di dekatnya, dia yang membuatku berpikir ingin memilikinya. Lantas apakah ini berarti aku menyukainya? apakah ini berarti aku mencintai ia pada pandangan pertamaku? lalu bagaimana dengan Ardi? dia adalah laki-laki yang sangat ku cintai, dialah yang membuatku merasakan cinta untuk pertama kalinya. Apakah yang sebenarnya terjadi padaku? apakah aku mencintai ketiganya? bisakah seorang wanita mencintai laki-laki dalam satu waktu? jawabannya ‘YA’.
***
Baru saja aku keluar dari kampusku saat seorang wanita paruh baya menghampiriku. Aku merasa tidak mengenalnya.
“Kamu Airis nak?” tanyanya sopan dengan suara lembut keibuan.
“Iya bu.” Aku menjawab.
“Boleh ibu meminta waktumu sebentar saja.” Aku mengangguk setuju, kamipun berjalan menuju mobilnya dan menuju sebuah kafe.
***
Kepalaku masih berputar memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu saat aku pulang ke rumah dan ku dapati Hanif bersama paman Herman sedang berbincang dengan kedua orang tuaku.
“Airis sudah pulang. Ganti baju sana nak, Hanif ingin mengajakmu jalan-jalan.” Ingin rasanya aku menolak, pikiran dan tubuhku masih terasa lelah, namun ku lihat Hanif yang sangat ingin mengajakku jalan jadi ku putuskan tidak menolak.
Kami menuju mall, Hanif mengajakku belanja namun ku tolak karena aku merasa kakiku tak dapat melangkah untuk berbelanja, jadilah sekarang kami duduk di kafe. Hanif dengan cappucinonya dan aku dengan cokelat hangatku. Kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing hingga Hanif berucap mengejutkanku.
“Ayah dan ayahmu sudah memutuskan tanggal pernikahan kita,” katanya dan membuatku terkejut hingga tak mampu berucap. “21 November.” Lanjut Hanif yang membuatku semakin terkejut.
“Apa?! bukankah ini sudah tanggal 28 September? itu berarti hanya tersisa satu bulan lebih?”
“Ya.” Jawabnya, aku menutup wajahku. Kepalaku tersa berat, mengapa tidak ada yang meminta persetujuanku?
“Aku tahu ini sulit untukmu dan itulah mengapa aku mengajakmu ke sini,” aku melihat ke arahnya yang juga sedang menatapku, “aku sudah setuju dengan pernikahan ini, bukan hanya karena kepatuhanku pada ayah tapi karena aku juga memang sudah menyukaimu sejak pertama kali melihatmu,” Hanif menarik napas, aku cukup terkejut dengan pengakuannya jadi aku menunggunya melanjutkan, “tapi aku belum mendengar pendapatmu.” Ungkapnya.
“Aku masih ingin kuliah.” Kataku asal.
“Itu bukan masalah buatku Airis, aku berjanji akan tetap mengizinkanmu kuliah hingga kau tak ingin lagi kuliah dan semuanya aku yang akan menanggungmu sebagai suamimu.” Timpal Hanif dengan sangat yakin.
“Baiklah aku tahu kamu mampu melakukannya dengan pekerjaanmu saat ini, tapi bisakah kamu memberiku waktu beberapa hari untuk menjawabnya? karena saat ini bukan hanya ada kamu dalam hatiku, ada Rizky teman sekampusku dan juga Ardi kekasihku sejak aku duduk dibangku kelas satu sekolah menengah atas.” Hanif terlihat terkejut dengan pengakuanku.
“Apakah aku bisa berharap? Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?” Hanif bertanya lemah.
“Ya. Kamu bisa berharap karena bukan hanya kamu sudah memiliki restu orang tuaku tapi sejujurnya akupun menyukaimu sejak aku melihatmu di halaman belakang rumahku, tapi aku tidak bisa menjawabmu saat ini. Mungkin aku butuh 3 hari atau seminggu.”
“Baiklah aku akan menunggu jawabanmu.” Setelah itu kamipun diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sepulang dari jalan bareng Hanif, aku beristirahat dan membaringkan tubuh lelahku di tempat tidur. Pikiranku melayang pada kejadian sepulang kuliah tadi. Ternyata ibu paruh baya itu adalah ibunya Rizky. Kami berbincang lama di kafe itu hingga akhirnya ibunya Rizky meminta sesuatu dan mengejutkanku. Ibunya Rizky mintaku menikah dan mencintai Rizky sama seperti Rizky mencintaiku. Aku terkejut, ternyata Rizky sudah mencintaiku sejak pertama kali ia melihatku saat OSPEK. Masih sangat jelas ku ingat perkataan ibunya Rizky.
“Ibu kini sudah tua, terlebih lagi ibu ada penyakit jantung. Sewaktu-waktu ibu bisa saja meninggal. Itulah mengapa ibu sangat ingin melihat anak ibu Rizky satu-satunya menikah dengan perempuan yang dicintainya dan hanya kamulah perempuan yang dicintainya. Sejak dulu ibu tidak pernah mendengar Rizky mencintai seseorang, barulah saat ini ibu mendengarnya dan dia menceritakan segalanya tentangmu,” ibu Rizky bernapas sebelum melanjutkan lagi, “Ibu tahu kamu tidak mencintai Rizky, tapi ibu mohon menikahlah dengannya dan nanti kamu akan bisa belajar mencintainya. Rizky sangat mencintaimu, cuma dia anak ibu satu-satunya, ibu tidak bisa melihatnya bersedih terus menerus. Apapun yang kamu inginkan, akan ibu berikan. Rumah, mobil, biaya kuliah atau kamu ingin kuliah di luar negeri, ibu akan memberikannya, apapun yang kamu inginkan asal kamu menikah dengan Rizky. Pecayalah Airis, Rizky akan membahagiakan kamu, Rizky selalu mendahulukan kebahagiaan orang-orang yang dicintainya daripada kebahagiaannya sendiri. Kamu tidak usah menjawab sekarang, pikirkanlah dulu baik-baik.” Terang ibu Rizky.
Aku tidak ingin bersatu dengan Rizky dengan cara seperti ini, andai saja Rizky mengungkapkan perasaanya sejak dulu mungkin aku bisa menerimanya karena akupun sudah mencintainya sejak lama atau andai saja cintaku terhadapnya tidak ada akan ku terima dia, bukan karena cinta mampu dibeli oleh uang tapi karena ini permintaan seorang ibu yang tulus mencintai anaknya. Lagipula ada banyak orang yang menikah dengan cinta sepihak tapi mereka tetap hidup bahagia dan berakhir dengan saling mencintai. Akan kupilih uang andai saja cinta tak ada bersamanya.
***
Aku bangun dengan kepala pening untung saja hari ini tidak ada mata kuliah jadi aku tidak perlu ke kampus. Aku melihat bunda sedang sibuk di dapur, aku duduk meminum secangkir teh.
“Ardi ada di depan Airis,” aku nyaris saja menyembur tehku, “Dia melarang ibu membangunkanmu jadilah dia menunggu dan sekarang sedang berbincang-bincang dengan ayahmu. Cepat mandi dan temui dia.” Aku berdiri bergegas.
“Airis,” bunda memanggilku saat aku berlari menaiki tangga menuju kamarku, “Hanif sudah menceritakan semuanya kemarin, bunda berharap kamu bisa mengambil keputusan yang cerdas.” Ucap bunda dan setelah itu aku kembali berlari menuju kamarku.
***
Saat ini aku dan Ardi duduk berhadapan ditemani cokelat hangat, aku melihat Ardi yang sedang menunduk menatap cokelat hangatnya. Aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu, jadilah aku menunggunya.
“Aku sudah mendengar dari ayahmu tentang pernikahanmu,” ungkapnya, aku sudah menduga ayah sudah menceritakannya, “Bagaimana keputusanmu?” tanyanya dan aku menggeleng.
 “Jangan terlalu lama memikirkan masalah Airis, cepatlah buat keputusan. Itu akan membuatmu tenang. Ikuti kata hatimu.” Ucap Ardi menggenggam kedua tanganku. Aku diam memikirkan. Lama aku memikirkan, hingga akhirnya aku menemukan keputusanku.
“Baiklah Ardi. Maafkan aku, mungkin lebih baik aku memilih Hanif pilihan orang tuaku.” Kataku dan menunduk, aku tidak sanggup melihat ke arah Ardi.
“Baiklah, aku mengerti. Semoga hidupmu bahagia, jangan memikirkan aku, aku berjanji akan menemukan yang lebih baik darimu.” Aku tahu Ardi hanya ingin menyemangatiku, aku dapat mengetahui ada kesedihan dalam suaranya.
“Maafkan aku sudah melanggar janjiku. Aku mencintaimu.” Ucapku dan kulihat ia mengangguk.
Jika aku memilih Ardi pastilah orang tuaku tak akan setuju karena meraka pasti berpikir Ardi tidak dapat membahagiakan aku karena keadaan ekonominya dan fakta bahwa cinta harus ada uang bersamanya itu menyakitkan. Akan kupilih cinta andai saja uang ada bersamanya.
***
Sepulang jalan dengan Ardi aku menuju rumah Rizky, ibunya menyambutku dengan bahagia tapi sayang aku memberikan kabar yang tak membahagiakan. Ibu Rizky sedih tapi ia mengerti, aku juga memberitahukan perihal pernikahanku dengan laki-laki pilihan orang tuaku.
Di rumah aku langsung menghampir bunda dan memeluknya. “Katakan iya pada orang tua Hanif, bunda.” Ucapku dan seketika air mata bunda pecah. Setelah memberitahukan bunda, aku menuju kamarku dan ku kirimi pesan Hanif.
To : Hanif
IYA.
Selang beberapa menit, satu pesan baru masuk.
From : Hanif
Terima Kasih. {}
Kupilih Hanif bukan saja karena dia pilihan orang tuaku tapi karena aku juga mencintainya dan ia juga sudah memiliki kesuksesan dalam genggamannya. Andai saja pilihan untuk menikah dengan Hanif tak pernah ada, mungkin aku tak akan memilih cinta dan uang dalam waktu yang sama. Tak akan kupilih keduanya andai saja pilihan tak pernah ada.
Akhirnya pilihan jatuh pada CINTA yang ada UANG bersamanya, bukan UANG yang ada CINTA bersamanya, ataupun CINTA namun tak ada UANG bersamanya. Jadi pilihlah Cinta terlebih dahulu UANG adalah yang kedua bukan UANG terlebih dahulu barulah CINTA yang kedua.


~ SELESAI ~

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar