KARENA
CINTA HARUS ADA UANG BERSAMANYA
“Akan kupilih cinta andai saja uang ada
bersamanya, akan kupilih uang andai saja cinta tak bersamanya, dan tak akan ku
pilih keduanya andai saja pilihan tak pernah ada.”
***
Aku menatap dia yang
sedang memandangi gemercik hujan dari balik jendela kelas. Aku sudah
mengenalnya sejak duduk dibangku kelas 1 sekolah menengah atas ( SMA ),
kepintaran dan wajah rupawannya yang tak dapat membuatku mengabaikan
keberadaannya. Dia adalah sosok yang bijaksana, sopan, dan pendiam. Namun di
atas semua itu yang membuatku hingga kini hanya melihatnya karena aku selalu
nyaman bersama dengannya.
“Apakah aku begitu
tampan hingga kau menatapku seperti itu?” tanyanya mengejutkanku, ia belum
mengalihkan pandangannya.
“Tentu saja. Jika
saja kau tak tampan, aku tidak akan pernah mau menjadi kekasihmu,” aku
melihatnya mengerutkan kening, “kau selalu saja menganggap ucapanku serius.
Tentu saja tidak,” jawabku tegas, “karena kau adalah kau.” Ku goreskan senyum
dengan bangga.
“Itu jawaban konyol. Memangnya
‘kau’ akan pernah berubah menjadi ‘dia’? tidak mungkinkan? berhentilah menjawab
seperti itu.” Kini ia kembali memandang hujan dengan wajah marah bercampur sendu,
aku tidak mengerti apa yang membuatnya begitu sedih, jadi ku ucapkan maaf.
“Maaf. Aku tidak akan
mengulanginya lagi.” Ucapku menunduk. Sebuah tangan menyentuh kepalaku, aku
melihat ke arahnya.
“Jangan menunduk,
maaf sudah memarahimu. Hanya saja saat kau menjawab seperti itu, aku merasa kau
akan melupakanku saat orang yang lain lebih dariku datang. Itu membuatku
takut.” Aku terkejut dengan ungkapan perasaannya.
“Bagiku itu tidak
mungkin, hanya kau. Tidak akan ada yang lain lebih darimu, tidak akan pernah,”
kataku cepat sambil menggelengkan kepala, “aku janji.” Aku meyakinkannya dan
mengaitkan jaring kelingking-ku dengannya.
Itulah janji yang
terucap setahun yang lalu saat kami duduk dibangku kelas 3 sekolah menengah
atas, saat hujan yang dengan indahnya memperdengarkan senandung gemerciknya dan
menjadi saksi janjiku kepadanya. Itu setahun yang lalu namun saat ini aku
adalah mahasiswa semester 2 fakultas sastra indonesia dan dia tidak melanjutkan
kuliahnya kerena alasan ekonomi.
“Aku tidak mengerti
mengapa kau begitu suka memandangi hujan yang menjengkelkan. Sangat
membuang-buang waktu.” Sebuah suara mengejek mengejutkanku.
“Ahh sudahlah, Rizky. Jangan menggangguku, kau
merusak suasana hatiku.” Kataku mengabaikannya dan kembali memandang hujan.
“Ah. Jangan bilang
kau sedang mengingat kenangan kau dengan yang kau sebut kekasih sejatimu itu?”
dia masih saja menggodaku.
“Bukan urusanmu.”
Kataku ketus.
“Ah tentu saja kau
sedang mengingat kekasih penjaga toko itu.” Dia mengabaikan ucapanku dan malah
mencela Ardi.
“Lalu kenapa kalau
dia penjaga toko? apa itu masalah hah?!” suaraku mulai meninggi, aku tidak suka
ketika ada yang mencela Ardi terlebih lagi orang seperti Rizky.
“Tentu saja itu
masalah, Airis. Kau pikir bisa hidup hanya dengan cinta?” katanya sambil
menggoreskan senyum sombongnya.
“Oh jadi segalanya
ini tentang uang. Lalu apakah uang bisa membeli cinta? Hah?!” aku berdiri
berkacak pinggang dengan suara meninggi, menatapnya marah.
“Tentu saja. Uang
adalah kebahagiaan, tidak ada kebahagiaan saat uang tak ada bersamanya.”
Jawabnya masih dengan kesombongannya.
“Tidak ada Rizky, kebahagiaan
bisa kau dapat dengan orang kau cintai meskipun uang tak bersamanya.” Timpalku
masih tak ingin kalah darinya.
“Baiklah, terserah
darimu Airis. Suatu saat nanti kau akan mengakui kebenaran ucapanku.” Katanya
dan belalu pergi.
“Tidak akan pernah Rizky!!!”
teriakku.
Aku mengerti mengapa
ia berkata seperti itu, karena uang bukanlah masalah baginya. Ia hidup dengan
gelimang harta, jadi itulah mungkin membuatnya berpikir semuanya bisa dibeli
dengan uang termasuk CINTA.
***
Aku pulang ke rumah
masih dengan perasaan jengkel. Benar-benar Rizky selalu berhasil mempengaruhi
suasana hatiku. Aku tidak tahu mengapa ia selalu saja menggangguku dan
membuatku jengkel bukan kepalang. Dasar laki-laki bodoh. Ah. Tidak, dia adalah
laki-laki yang pintar. Aaahhh. Rizky Wikrawardhana.
Aku memasuki rumah
dengan kening berkerut, ada mobil hitam terparkir di depan rumah. Siapa? tidak
biasanya ada tamu.
“Ada tamu yah bunda?” tanyaku pada bunda yang
sedang asyik nonton.
“Oh itu. Temannya
ayahmu,” bunda tidak melihat ke arahku, “teman ayah waktu masih tanah
kelahirannya dulu.” Jawab bunda yang kini sudah melihatku.
Aku mengangguk
mengerti, kalau teman ayah di tanah kelahirannya tidak ada yang ku kenali. Ayah
lahir di Bendo, Jawa Timur sedangkan saat ini kami tinggal di kota Makassar,
Sulawesi Selatan dan kami pindah sebelum aku lahir, jadi aku tidak mengetahui
teman-teman ayah di sana.
“Kamu ucap salam
sana, dia sudah seperti saudara ayahmu.” Perintah ibu.
Akupun mengampiri
mereka yang duduk di halaman belakang rumah dan mereka tidak berdua ada
laki-laki lain. Aku tidak melihat wajahnya karena dia duduk membelakangiku.
Ayah tersenyum saat melihatku dan ketiga orang itu sekarang melihatku. Mataku
langsung tertuju pada laki-laki yang sedang menatapku, laki-laki yang tadi
duduk membelakangiku dan tiba-tiba aku berpikir ingin memilikinya.
“Ayah.” Ucapku dan
mencium punggung tangannya, begitupun dengan teman ayah.
“Ini Airis, putriku
Herman.” Ucap ayah memperkenalkanku
“Dia sudah sangat
besar. Sekarang kelas berapa nak?”
“Mahasiswa semester 2
paman.” Jawabku.
“Aku mengira masih
SMA ternyata sudah mahasiswa.” Ucap paman Herman. “Hanif Baru lulus kuliah loh.”
Kata paman Herman ke ayah.
“Jadi sekarang Hanif
kerja apa?” tanya ayah pada Hanif.
“Dosen arsitek
paman.” Jawab Hanif sopan.
“Katanya baru lulus
kuliah?” ayah terlihat bingung , akupun begitu.
“Kemarin ada tes
dosen paman, aku tepilih.” Jelas Hanif.
“Wah beruntungnya
kamu nak.” Ucap ayah senang.
“Beruntung sih Rif,
tapi dipikirannya tuh belajar melulu. Udah lupa dianya nyari jodoh,” ayah Hanif
mengeluh, “buat apa belajar melulu tapi lupa nikah. Airis bagaimana? Udah mau
nikah?” Dek. Pertanyaan macam apa itu? Aku terkejut dengan pertanyaan paman
Herman. Jawaban apa yang harus ku berikan?
“Memangnya kenapa
Man? kamu mau jodohin Hanif bareng Airis?” ini lagi ayah, pertanyaan apa lagi
tuh? Ku lirik Hanif yang sama terkejutnya denganku.
“Rencananya begitu
Arif, kalau Airisnya belum punya calon.” Jawab paman Herman dengan entengnya.
Aku heran dengan mereka, bagaimana bisa mereka membicarakan perjodohanku dengan
hanif sedangkan kami berdua ada disini bersamanya.
“Tentu saja Airis
belum punya calon,” ayah juga menjawab tanpa beban. Ya ampuuunnn mereka. Ingin
rasanya aku mengubur diriku saat ini juga. Ayah juga, iakan tahu tentang Ardi.
Mengapa ia berkata seolah tak tahu tentang Ardi? “bagaimana dengan Hanif?”
“Tentu saja tidak
ada. Bagaimana pendapatmu Hanif?” Paman Herman bertanya pada Hanif, aku yakin
Hanif tidak akan setuju.
“Aku hanya anak ayah,
semuanya terserah darimu,” pernyataan macam apa itu? Aku terkejut dengan
perkataan Hanif. Orang macam apa dia dengan mudahnya mengiyakan? Aku
benar-benar menatapnya kesal, tapi tak dapat ku pungkiri kekagumanku terhadap
kepatuhannya. “Ayah tahu yang terbaik untukku.” Lanjutnya, ingin rasanya aku menguburkan
diriku saat ini juga. Manusia dari planet mana dia? dan juga mengapa tak ada
yang bertanya pendapatku?
“Bagaiman Arif, cocok
tidak anak-anak kita?”
“Tentu saja Herman,” jawab
ayah mantap.
“Ayah, aku masuk
dulu. Masih ada tugas kuliah yang belum diselesaikan,” pamitku, aku tahu ini
cara pengecut menghindar. Ayah mengangguk. “Paman Herman aku pamit ke dalam dulu.”
“Iya nak.” Timpal
paman Herman lembut. Selanjutnya aku melangkah pergi setelah memberikan senyum
anggukan ke Hanif dan dibalasnya dengan senyum anggukan pula.
Aku membaringkan
tubuh lelahku di tempat tidur, ingatanku kembali ke kejadian beberapa waktu
lalu. RIZKY. Laki-laki menjengkelkan, teman sekampusku. Sejak pertama kali aku
menginjakkan kakiku di kampus, mataku langsung tertuju padanya. Keceriaan
selalu berada dengannya, senyum terus tergores di bibir indahnya, pesonanya tak
dapat ku hindari, namun mendekatinya begitu sulit, ia adalah laki-laki dengan
kecerdasan dan kekayaan berada padanya, dan dia laki-laki menjengkelkan. Namun
tak dapat ku pungkiri debar jantungku saat berada di dekatnya, saat matanya
menatapku tak dapat ku pungkiri bahwa aku menyukainya lebih dari rasa suka itu
sendiri diartikan. HANIF. Satu nama laki-laki dengan tutur kata yang
mengagumkan, paras yang mempesona dengan kesuksesan berada dalam genggamannya.
Laki-laki calon imam-ku, pilihan ayah. Dia yang membuat jantungku berdebar
lebih cepat saat berada di dekatnya, dia yang membuatku berpikir ingin
memilikinya. Lantas apakah ini berarti aku menyukainya? apakah ini berarti aku
mencintai ia pada pandangan pertamaku? lalu bagaimana dengan Ardi? dia adalah laki-laki
yang sangat ku cintai, dialah yang membuatku merasakan cinta untuk pertama
kalinya. Apakah yang sebenarnya terjadi padaku? apakah aku mencintai ketiganya?
bisakah seorang wanita mencintai laki-laki dalam satu waktu? jawabannya ‘YA’.
***
Baru saja aku keluar
dari kampusku saat seorang wanita paruh baya menghampiriku. Aku merasa tidak
mengenalnya.
“Kamu Airis nak?”
tanyanya sopan dengan suara lembut keibuan.
“Iya bu.” Aku menjawab.
“Boleh ibu meminta
waktumu sebentar saja.” Aku mengangguk setuju, kamipun berjalan menuju mobilnya
dan menuju sebuah kafe.
***
Kepalaku masih
berputar memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu saat aku pulang ke rumah
dan ku dapati Hanif bersama paman Herman sedang berbincang dengan kedua orang
tuaku.
“Airis sudah pulang.
Ganti baju sana nak, Hanif ingin mengajakmu jalan-jalan.” Ingin rasanya aku
menolak, pikiran dan tubuhku masih terasa lelah, namun ku lihat Hanif yang sangat
ingin mengajakku jalan jadi ku putuskan tidak menolak.
Kami menuju mall,
Hanif mengajakku belanja namun ku tolak karena aku merasa kakiku tak dapat
melangkah untuk berbelanja, jadilah sekarang kami duduk di kafe. Hanif dengan
cappucinonya dan aku dengan cokelat hangatku. Kami diam, sibuk dengan pikiran
masing-masing hingga Hanif berucap mengejutkanku.
“Ayah dan ayahmu
sudah memutuskan tanggal pernikahan kita,” katanya dan membuatku terkejut
hingga tak mampu berucap. “21 November.” Lanjut Hanif yang membuatku semakin
terkejut.
“Apa?! bukankah ini
sudah tanggal 28 September? itu berarti hanya tersisa satu bulan lebih?”
“Ya.” Jawabnya, aku menutup
wajahku. Kepalaku tersa berat, mengapa tidak ada yang meminta persetujuanku?
“Aku tahu ini sulit
untukmu dan itulah mengapa aku mengajakmu ke sini,” aku melihat ke arahnya yang
juga sedang menatapku, “aku sudah setuju dengan pernikahan ini, bukan hanya
karena kepatuhanku pada ayah tapi karena aku juga memang sudah menyukaimu sejak
pertama kali melihatmu,” Hanif menarik napas, aku cukup terkejut dengan
pengakuannya jadi aku menunggunya melanjutkan, “tapi aku belum mendengar pendapatmu.”
Ungkapnya.
“Aku masih ingin
kuliah.” Kataku asal.
“Itu bukan masalah
buatku Airis, aku berjanji akan tetap mengizinkanmu kuliah hingga kau tak ingin
lagi kuliah dan semuanya aku yang akan menanggungmu sebagai suamimu.” Timpal Hanif
dengan sangat yakin.
“Baiklah aku tahu
kamu mampu melakukannya dengan pekerjaanmu saat ini, tapi bisakah kamu
memberiku waktu beberapa hari untuk menjawabnya? karena saat ini bukan hanya
ada kamu dalam hatiku, ada Rizky teman sekampusku dan juga Ardi kekasihku sejak
aku duduk dibangku kelas satu sekolah menengah atas.” Hanif terlihat terkejut
dengan pengakuanku.
“Apakah aku bisa
berharap? Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?” Hanif bertanya lemah.
“Ya. Kamu bisa
berharap karena bukan hanya kamu sudah memiliki restu orang tuaku tapi sejujurnya
akupun menyukaimu sejak aku melihatmu di halaman belakang rumahku, tapi aku
tidak bisa menjawabmu saat ini. Mungkin aku butuh 3 hari atau seminggu.”
“Baiklah aku akan
menunggu jawabanmu.” Setelah itu kamipun diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sepulang dari jalan
bareng Hanif, aku beristirahat dan membaringkan tubuh lelahku di tempat tidur. Pikiranku
melayang pada kejadian sepulang kuliah tadi. Ternyata ibu paruh baya itu adalah
ibunya Rizky. Kami berbincang lama di kafe itu hingga akhirnya ibunya Rizky meminta
sesuatu dan mengejutkanku. Ibunya Rizky mintaku menikah dan mencintai Rizky
sama seperti Rizky mencintaiku. Aku terkejut, ternyata Rizky sudah mencintaiku
sejak pertama kali ia melihatku saat OSPEK. Masih sangat jelas ku ingat
perkataan ibunya Rizky.
“Ibu kini sudah tua,
terlebih lagi ibu ada penyakit jantung. Sewaktu-waktu ibu bisa saja meninggal. Itulah
mengapa ibu sangat ingin melihat anak ibu Rizky satu-satunya menikah dengan
perempuan yang dicintainya dan hanya kamulah perempuan yang dicintainya. Sejak dulu
ibu tidak pernah mendengar Rizky mencintai seseorang, barulah saat ini ibu
mendengarnya dan dia menceritakan segalanya tentangmu,” ibu Rizky bernapas
sebelum melanjutkan lagi, “Ibu tahu kamu tidak mencintai Rizky, tapi ibu mohon
menikahlah dengannya dan nanti kamu akan bisa belajar mencintainya. Rizky
sangat mencintaimu, cuma dia anak ibu satu-satunya, ibu tidak bisa melihatnya
bersedih terus menerus. Apapun yang kamu inginkan, akan ibu berikan. Rumah,
mobil, biaya kuliah atau kamu ingin kuliah di luar negeri, ibu akan
memberikannya, apapun yang kamu inginkan asal kamu menikah dengan Rizky.
Pecayalah Airis, Rizky akan membahagiakan kamu, Rizky selalu mendahulukan
kebahagiaan orang-orang yang dicintainya daripada kebahagiaannya sendiri. Kamu tidak
usah menjawab sekarang, pikirkanlah dulu baik-baik.” Terang ibu Rizky.
Aku tidak ingin
bersatu dengan Rizky dengan cara seperti ini, andai saja Rizky mengungkapkan
perasaanya sejak dulu mungkin aku bisa menerimanya karena akupun sudah
mencintainya sejak lama atau andai saja cintaku terhadapnya tidak ada akan ku
terima dia, bukan karena cinta mampu dibeli oleh uang tapi karena ini
permintaan seorang ibu yang tulus mencintai anaknya. Lagipula ada banyak orang
yang menikah dengan cinta sepihak tapi mereka tetap hidup bahagia dan berakhir
dengan saling mencintai. Akan kupilih
uang andai saja cinta tak ada bersamanya.
***
Aku bangun dengan
kepala pening untung saja hari ini tidak ada mata kuliah jadi aku tidak perlu
ke kampus. Aku melihat bunda sedang sibuk di dapur, aku duduk meminum secangkir
teh.
“Ardi ada di depan
Airis,” aku nyaris saja menyembur tehku, “Dia melarang ibu membangunkanmu
jadilah dia menunggu dan sekarang sedang berbincang-bincang dengan ayahmu. Cepat
mandi dan temui dia.” Aku berdiri bergegas.
“Airis,” bunda
memanggilku saat aku berlari menaiki tangga menuju kamarku, “Hanif sudah
menceritakan semuanya kemarin, bunda berharap kamu bisa mengambil keputusan
yang cerdas.” Ucap bunda dan setelah itu aku kembali berlari menuju kamarku.
***
Saat ini aku dan Ardi
duduk berhadapan ditemani cokelat hangat, aku melihat Ardi yang sedang menunduk
menatap cokelat hangatnya. Aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu, jadilah aku
menunggunya.
“Aku sudah mendengar
dari ayahmu tentang pernikahanmu,” ungkapnya, aku sudah menduga ayah sudah
menceritakannya, “Bagaimana keputusanmu?” tanyanya dan aku menggeleng.
“Jangan terlalu lama memikirkan masalah Airis,
cepatlah buat keputusan. Itu akan membuatmu tenang. Ikuti kata hatimu.” Ucap Ardi
menggenggam kedua tanganku. Aku diam memikirkan. Lama aku memikirkan, hingga
akhirnya aku menemukan keputusanku.
“Baiklah Ardi.
Maafkan aku, mungkin lebih baik aku memilih Hanif pilihan orang tuaku.” Kataku dan
menunduk, aku tidak sanggup melihat ke arah Ardi.
“Baiklah, aku
mengerti. Semoga hidupmu bahagia, jangan memikirkan aku, aku berjanji akan
menemukan yang lebih baik darimu.” Aku tahu Ardi hanya ingin menyemangatiku,
aku dapat mengetahui ada kesedihan dalam suaranya.
“Maafkan aku sudah
melanggar janjiku. Aku mencintaimu.” Ucapku dan kulihat ia mengangguk.
Jika aku memilih Ardi
pastilah orang tuaku tak akan setuju karena meraka pasti berpikir Ardi tidak
dapat membahagiakan aku karena keadaan ekonominya dan fakta bahwa cinta harus
ada uang bersamanya itu menyakitkan. Akan
kupilih cinta andai saja uang ada bersamanya.
***
Sepulang jalan dengan
Ardi aku menuju rumah Rizky, ibunya menyambutku dengan bahagia tapi sayang aku
memberikan kabar yang tak membahagiakan. Ibu Rizky sedih tapi ia mengerti, aku
juga memberitahukan perihal pernikahanku dengan laki-laki pilihan orang tuaku.
Di rumah aku langsung
menghampir bunda dan memeluknya. “Katakan iya pada orang tua Hanif, bunda.” Ucapku
dan seketika air mata bunda pecah. Setelah memberitahukan bunda, aku menuju
kamarku dan ku kirimi pesan Hanif.
To : Hanif
IYA.
Selang beberapa
menit, satu pesan baru masuk.
From : Hanif
Terima
Kasih. {}
Kupilih Hanif bukan
saja karena dia pilihan orang tuaku tapi karena aku juga mencintainya dan ia
juga sudah memiliki kesuksesan dalam genggamannya. Andai saja pilihan untuk
menikah dengan Hanif tak pernah ada, mungkin aku tak akan memilih cinta dan
uang dalam waktu yang sama. Tak akan
kupilih keduanya andai saja pilihan tak pernah ada.
Akhirnya pilihan
jatuh pada CINTA yang ada UANG bersamanya, bukan UANG yang ada CINTA
bersamanya, ataupun CINTA namun tak ada UANG bersamanya. Jadi pilihlah Cinta
terlebih dahulu UANG adalah yang kedua bukan UANG terlebih dahulu barulah CINTA
yang kedua.
~
SELESAI ~
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
