Kata demi kata mengalir dengan lancarnya tak terhambat, ada wadah yang menjadi penampung-bukan tak berujung.
Mungkin dia berkata lucu, namun aku menafsirkan hinaan.
Mungkin dia sedang bingung, namun aku menangkap sebuah kejujuran.
Mungkin dia berkata dalam kondisi tak berpikir, namun aku sedang tajam menelaah.
Lalu rasa apa ini?
Aku percaya, kata yang datangnya bukan dari ketenangan mengandung banyak kejujuran.
Aku bukan pemikir yang dalam.
Aku tidak duduk membahas isu-isu atau ilmu yang datangnya dari bacaan.
Buku tak banyak ku selesaikan, membaca hanya ku lakukan ketika perlu.
Aku tidak mengupas buku-buka mereka yang berpikir kritis.
Aku asing pada ungkapan-ungkapan filsuf.
Aku tak kenal pada istilah-istilah ideologis.
Lalu mengapa? Apa yang sedang kau permasalahkan dariku?
Kenalpun, kita hanya sebatas nama.
Aku tak memiliki penampilan yang menarik.
Aku tak punya anggun yang melekat.
Ceroboh adalah pendampingku.
Aku tak punya plester pada tuturku.
Umpatan adalah temanku.
Aku tak memiliki bunyi semut.
Pengecil suara tak pernah tertanam pada bagian tubuhku.
Aku tak kenal orang se-kota.
Menyendiri adalah bagianku.
Aku tak punya lembut pada hatiku.
Keras kepala adalah gelarku.
Lalu mengapa? Apa yang sedang kau permasalahkan dariku?
Kita berdiri pada karakter masing-masing.
Aku tak punya percaya, katakanlah seperti itu.
Aku tak paham bercerita.
Kisahku hanya hitam dan putih.
Aku tak mengerti berbagi.
Menyimpan adalah caraku melalui.
Aku tak tahu bersandar.
Berdiri adalah pandanganku.
Aku tak pandai berbaur.
Benteng adalah pelindungku.
Lalu mengapa? Apa yang sedang kau permasalahkan?
Kita tak memiliki jiwa yang sama.
Salahkah ketika mimpi ku rangkai dalam pikiranku?
Mencoba melalui dengan sebuah rangkulan.
Tak perlu tahu mereka yang datang.
Tak perlu kenal pada keadaan.
Tak perlu penejelasan untuk paham.
Ketika semuanya menjadi satu bertemu, rasa apa ini?
L. Jinan Lahfah
Hujan, Kegelapan, Kesunyian, Langit, dan Perbedaan. Sesederhana itu. :)
Aku dengan caraku, karena aku berbeda. :)
Minggu, 07 April 2019
Sabtu, 19 November 2016
Like That
Jika aku mencoba menilik ke belakang, kira-kira sebulan lebih yang lalu. Untuk pertama kalinya aku melihatmu, hal pertama mataku tertuju padamu adalah tanganmu yang mengenakan jam tangan di tangan kanan (saat ini, namun kini tidak lagi). Saat itu aku menggoreskan senyum, satu lagi aku menemukan orang yang sama. Ku pikir itu hanya sepintas lalu, hanya tentang jam tangan. Selanjutnya aku melihat kau yang berlalu lalang dengan kesibukanmu, ada yang aneh dengan caramu berjalan. Entalah sesuatu yang baru bagiku untuk mengertinya. Kembali aku larut dengan apa yang ku lakukan hingga kau memberikan perintah yang kemudian ku jawab dengan suara pelan. Mengapa? aku merasa kembali aneh dengan suaramu, nada yang begitu berbeda. Hingga aku tersadar, senyum ku goreskan untukmu kala itu.
Saat itu aku tidak tahu tentangmu, bahkan sekadar namapun tak terdapat dalam list nama dalam otakku. Hingga beberapa minggu setelahnya, seseorang memberitahuku namamu. Tanpa disengaja. Yap, aku baru tahu nama. Entah takdir sedang mempermainkanku. Sebuah alasan datang yang membuatku bisa mengenalmu lebih jauh. Alasan yang membuat kita berbagi. Alasan yang membawaku pada keadaan dimana aku sempat melapaskan kontrol akan diriku, itu hanya sesaat namun akibatnya masih terasa hingga detik ini.
Namun mengapa tak ku perjuangkan rasaku? Karena kita memiliki begitu banyak kesamaan yang mana terlarang untukku, karena aku pernah melontarkan kalimat "tidak mungkin" kepadamu, dan karena kau pernah memujiku.
Kini aku sedang membangun benteng untuk diriku, menata kontrol lebih baik, terutama terhadapmu. Tak ku izinkan perasaan ini lebih untukmu, karena kau dan aku bukan dipersatukan untuk menuliskan cerita namun memberikan cerita. :-)
Jumat, 16 September 2016
BERBICARA TENTANG KALIAN
Kita dipertemukan untuk sebuah awal yang mana ada begitu banyak yang menjadi harapan kita ke depannya. Mencoba belajar menitipkan percaya hingga ada banyak cerita yang mengalir dari bibir kita bahkan cerita yg seharusnya hanya milik kita dan Sang Maha Pencipta namun tetap kita biarkan itu ada diantara kita. Mengapa? Karena kita telah menitipkan percaya. Mengapa? Karena rasa sayang melebihi dirt sendiri itu telah terbangkitkan. Mengapa? Karena tanpa sadar cinta itu telah dititipkan kepada kita. Bahagia? tak bisa terbayangkan berapa banyak sudah bahagia yang telah kita miliki bersama. Sedih? Tak akan pernah ada bahagia saat kesedihan tak pernah hadir untuk menyapa. Tangis? Tak bisa dipungkiri akan hadirnya, jika sepasang mata dihadiri bulir bening maka tak perlu disangkal lagi akan ada pasang mata yang lain mengikuti. Mengapa? karena kita telah dipertemukan dan diciptakan untuk menjadi "KITA". Pertemuan dengan yang lain tak menjadi alasan bagi kita untuk menjadi "KITA" + DIA/MEREKA.
Hingga pertemuan yang entah mengapa menjadi alasan ada "diam" yang tercipta hingga memberi sisi yang lain untuk "memilih". Bisa kau katakan sisi lain bisa untuk tidak "memilih" namun bagaimana dengan rentang waktu yg dibutuhkan. Tidakkah kalian memikirkan bagaimana rasanya berada disisi berbeda yang mana kita selalu berdiri disisi yang sama. Tidakkah kalian berpikir sama saja kalian memberi dia kesempatan untuk mengambil keputusan?
Yap, ini tentang kita. Aku, kalian, dan dia.
Disaat kalian berada dijalur yang sama. Dijalur mana aku? Kalianpun tahu masa itu. Ada begitu banyak yang menjadi kesedihan dan beban pikiran, entah kalian lupa atau benar-benar menutup mata akan itu backan menambah kesedihan yang lain hingga membuat jarak yang seolah kalian ingkari. Bukan aku berharap kalian memaafkan. Bukan. Hanya såja jangan biarkan percaya itu tak lagi ku miliki untuk kalian. Hanya saja jangan biarkan jarak itu tercipta. Itu keinginanku tapi apatah daya aku hati dan pikiran adalah milikmu yang mana tak dapat ku kendalikan.
Saat ini mungkin kalian berkata, aku berubah. Ya. Itu jawabanku. Boleh ku katakan alasannya? Karena saat ini percaya tak lagi ku miliki bukan hanya kapada kalian tapi bahkan untuk orang-orang sekelilingku. Mengapa? Karena kalian yang mengajariku untuk menjadi yang dulu bukan untuk bernostalgia tapi untuk sebuah posisi dalam hubungan sosial.
Pernah ku katakan "Mungkin hanya ada satu masa SMA yang menjadi kenanganku yang akan ku rindukan yaitu masa kita bersama", namun akan ku katakan kini tidak lagi. Kalian tidak akan pernah lagi menjadi alasanku untuk apapun itu.
Menyesal untuk pertemuan kita? Ya, itu pernah terlintas dipikiranku.
Ada sebuah catatan yang ku titipkan untuk kau dan mungkin itu bisa menjadi catatan untuk kalian. Mungkin saat ini kau belum menemukannya, tapi aku yakin akan ada waktu kau menemukannya. Itu bukan catatan suatu pembenaran hanya saja sebuah luapan yang mana rasa yang ada pada catatan itu tak ingin lagi ku simpan untuk kalian. Aku hanya ingin meluapkannya hingga tak bersisa. Hingga sisi itu tak ada lagi dalam hati dan pikiranku.
Kamis, 04 Februari 2016
KARTU ATM
KARTU ATM
Seseorang
akan menjadi tahu dan mengerti saat ia mengalaminya hingga itulah menjadi
alasan mengapa pengalaman adalah guru terbesar dalam hidup. Apatahlagi
pengalaman yang memberinya pelajaran lebih banyak akan selalu membekas dalam
hati bahkan ketika waktu tak lagi dapat menghitungnya.
Inilah
satu diantara banyak pengalaman yang kumiliki, akan ku bagikan kepada para
pembaca hingga seluruh dunia tahu arti sebuah KEBARANIAN yang terselip dari
pengalaman hidup. Inilah adalah pengalamanku, seorang siswi dari pelosok
negeri.
Berawal
dari aku sebagai siswi SMAN 1 Bantaeng, satu diantara banyak sekolah menengah
ke atas di kabupaten Bantaeng yang saat ini duduk dibangku kelas 3. Beberapa
minggu setelah usiaku 17 tahun, aku mendapatkan surat dari Kementerian
Pendidikan lebih tepatnya lagi panitia sebuah ajang perlombaan ilmiah yaitu
OPSI ( Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia ) yang ternyata surat berisi
pemanggilan aku dan rekanku sebagai finalis dalam ajang tersebut.
Disekolah
aku mengikuti ekstra kurikuler KIR
yaitu Kelompok Ilmiah Remaja, di sanalah aku bertemu dengan rekanku Amila
Mufliha BT dan kami mencoba memberanikan diri mengikuti OPSI yang merupakan
ajang penelitian berskala nasional. Jadi kami sangat bersyukur ketika
mendapatkan surat tersebut dan dinyatakan kami sebagai finalis. Setelah itu
kami mengikuti tahap selanjutnya di kota Surabaya dan alhamdulillah kami meraih
medali perunggu. Selain itu kami diberi tabungan, disinilah awal kebingunganku
bermula.
Sepulang
dari Surabaya dengan sebuah buku tabungan berwarna jingga dengan nama “BNI” ditanganku,
dan aku tidak mengerti segalanya tentang buku tabungan, jadilah aku bingung.
Mengapa diumur yang sudah 17 tahun aku masih tidak tahu menahu tentang menabung
di bank dan buku tabungan? itu karena aku hidup di keluarga sederhana dan di
sebuah desa pelosok negeri. Faktanya mayoritas anak-anak yang tinggal di daerah
pedesaan tidak tahu menahu tentang buku tabungan, kami hanya tahu uang tunai
bukan berupa kartu ataupun buku tabungan seperti yang ada ditanganku saat ini.
Jadi karena aku tidak tahu jadilah aku memberikan tabungan ke ayah, namun ayah
menolak.
“Kamu
juga harus belajar, simpan saja sendiri. Sebelum itu kamu harus buat kartu atm
dulu.”
Aku
menatap ayah bingung. Apalagi kartu atm? Bagaimana cara membuatnya? Ayah
seperti tahu kebingunganku menjelaskan kalau aku harus ke bank, setelah itu
buat kartu atm. Aku berpikir, apakah semudah itu dan aku hanya masuk bank, lalu
seseorang akan membuatkanku kartu atm? Saat itu kupikir, memang benar mungkin
hanya seperti itu.
“Kamu
pergi sendiri, tidak usah ditemani ayah. Belajar mandiri dan berani. Kalau
bingung, jangan malu bertanya sama orang.” Ucap ayah waktu itu.
Bagaimana
ini? Apakah aku bisa? Pegang buku tabungan saja baru kali ini, apalagi masuk
bank. Aku tidak pernah berpikir untuk itu.
Satu
minggu berlalu aku masih saja belum ke bank, masih karena alasan tidak berani.
Hingga dihari kamis sepulang sekolah aku memberanikan diri, ditemani dengan
seorang temanku, yang juga sama denganku tak tahu menahu tentang bank dan
segala embel-embelnya.
Kami
memberanikan diri masuk ke bank dan ada banyak orang yang sedang duduk menunggu
yang entah sedang menunggu apa, aku tak tahu. Akupun juga ikut duduk, bingung
harus berbuat apa. Hingga ku dengar nama seseorang dipanggil, akupun mengerti
apa yang mereka tunggu. Jadi aku berpikir untuk duduk dan menunggu, namun hanya
beberapa saat aku kembali berpikir.
“Bagaimana pegawai bank
bisa tahu nama-nama yang mereka panggil? Bagaimana mereka akan tahu namaku?”
Aku
merasa ada yang salah. Ku lihat didepan pegawai bank sedang melayani
masyarakat. Aku kembali bingung. Bagaimana ini? Apakah aku harus menghampiri
pegawai itu, yang ku lihat tertera kata “Teller 3”. Aku bertanya kepada temanku
dan ia mengiyakan sebaiknya aku bertanya. Jadilah waktu teller 3 sudah selesai
melayani masyarakat, aku memberanikan diri untuk menghampirinya dan bertanya,
kan seperti kata pepatah “malu bertanya
sesat di jalan” jadi setidaknya aku harus berani bertanya agar tidak
tersesat di jalan.
Kata
pegawai di teller 3 aku bisa bertanya cara buat kartu atm di bagian service,
aku mengedarkan pandanganku dan melihat dua ruangan. Satu tertulis service 4
dan satu lagi service 5, namun hanya service 4 yang berpenghuni. Aku kembali
melihat kakak pegawai bank dan mengucapkan terima kasih, selanjutnya aku
kembali duduk dan menunggu hingga kakak cantik pegawai bank service 4 selesai
melayani seorang laki-laki yang kulihat sedang mengisi sebuah biodata atau
sejenisnyalah, aku kurang tahu itu apa.
Setelah
laki-laki di service 4 kosong, akupun menggantikannya dan duduk di hadapan
kakak cantik pegawai bank. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan menyerahkan
buku tabunganku. Setelah pegawai bank menjelaskan cara membuat kartu atm,
akupun mengerti. Ternyata aku harus membawa fotocopy KTP orang tua, kartu
keluarga, dan kartu tanda pelajar milikku. Berhubung hari itu aku tidak membawa
semuanya karena tidak tahu, jadilah aku kembali dan akan kembali nanti lagi.
Tentu saja sebelum meninggalkan bank, aku mengucapkan terima kasih kepada kakak
cantik pegawai bank.
Jadi
malu bertanya memang benar akan sesat dijalan, karena aku berani dan tidak malu
bertanya jadilah aku tidak sesat dijalan malah mendapatkan pengetahuan.
Pertama-tama tentu saja aku harus berterima kasih kepada ayah yang sudah
percaya dengan diriku, kepada diriku sendiri yang berani, dan tentu saja kepada
kakak di teller 3 yang berbaik hati bersedia memberiku petunjuk, serta kepada
kakak cantik service 4 yang memberiku ilmu.
Beberapa
hari kemudian aku kembali ke bank, kali ini aku ditemani dengan rekanku Amila
yang juga ingin membuat kartu atm, karena aku sudah tahu cara membuatnya
setelah kedatanganku beberapa hari yang lalu jadi aku tidak lagi menuju teller
dan langsung ke service. Jadilah saat ini aku sudah memiliki kartu atm, yang
berhasil ku miliki karena keberanianku dan tidak malu serta mau bertanya. J
MAU BERTANYA NGGAK SESAT DI JALAN #AskBNI
Kamis, 07 Januari 2016
"Aku Tahu" diantara kesibukan
AKU TAHU
Ku tatap bola mata indahnya
Ku temukan cahaya lain darinya
Saat tatapannya jatuh kepada dia
Ku tahu hati sedang berbicara
Tawa merdu ia suarakan
Saat kedekatan menghampirinya
Tutur bahagia terdengar darinya
Saat terlontar cerita dari bibir mungilnya
Aku tahu itu rasa
Tapi ingin ku tolaknya
Aku tahu itu suka
Tapi hati teramat mengingkarinya
Surabaya, 14 Oktober 2015
Ini adalah satu puisi diantara banyak puisi yang tercipta ditengah-tengah kesibukan, diantara letih dan semangat, disela kantuk dan keinginan, diselingan ketakutan, dan diantara penungguan yang menjadikan mimpi segera terjawab.
Tak ku mengerti alasan pasti mengapa pena mampu mengukirkan begitu banyak karangan disaat semua rasa bercampur menjadi satu hingga tak berasa.
Tapi apapun yang menjadi alasannya setidaknya ketika pena tak kehabisan tinta, tak ada alasan untuk berhenti menggerakkannya.
#Okteber #2015 #Surabaya #JawaTimur @OPSI2015 #Indonesia
#Okteber #2015 #Surabaya #JawaTimur @OPSI2015 #Indonesia
Minggu, 22 November 2015
KARENA CINTA HARUS ADA UANG BERSAMANYA
KARENA
CINTA HARUS ADA UANG BERSAMANYA
“Akan kupilih cinta andai saja uang ada
bersamanya, akan kupilih uang andai saja cinta tak bersamanya, dan tak akan ku
pilih keduanya andai saja pilihan tak pernah ada.”
***
Aku menatap dia yang
sedang memandangi gemercik hujan dari balik jendela kelas. Aku sudah
mengenalnya sejak duduk dibangku kelas 1 sekolah menengah atas ( SMA ),
kepintaran dan wajah rupawannya yang tak dapat membuatku mengabaikan
keberadaannya. Dia adalah sosok yang bijaksana, sopan, dan pendiam. Namun di
atas semua itu yang membuatku hingga kini hanya melihatnya karena aku selalu
nyaman bersama dengannya.
“Apakah aku begitu
tampan hingga kau menatapku seperti itu?” tanyanya mengejutkanku, ia belum
mengalihkan pandangannya.
“Tentu saja. Jika
saja kau tak tampan, aku tidak akan pernah mau menjadi kekasihmu,” aku
melihatnya mengerutkan kening, “kau selalu saja menganggap ucapanku serius.
Tentu saja tidak,” jawabku tegas, “karena kau adalah kau.” Ku goreskan senyum
dengan bangga.
“Itu jawaban konyol. Memangnya
‘kau’ akan pernah berubah menjadi ‘dia’? tidak mungkinkan? berhentilah menjawab
seperti itu.” Kini ia kembali memandang hujan dengan wajah marah bercampur sendu,
aku tidak mengerti apa yang membuatnya begitu sedih, jadi ku ucapkan maaf.
“Maaf. Aku tidak akan
mengulanginya lagi.” Ucapku menunduk. Sebuah tangan menyentuh kepalaku, aku
melihat ke arahnya.
“Jangan menunduk,
maaf sudah memarahimu. Hanya saja saat kau menjawab seperti itu, aku merasa kau
akan melupakanku saat orang yang lain lebih dariku datang. Itu membuatku
takut.” Aku terkejut dengan ungkapan perasaannya.
“Bagiku itu tidak
mungkin, hanya kau. Tidak akan ada yang lain lebih darimu, tidak akan pernah,”
kataku cepat sambil menggelengkan kepala, “aku janji.” Aku meyakinkannya dan
mengaitkan jaring kelingking-ku dengannya.
Itulah janji yang
terucap setahun yang lalu saat kami duduk dibangku kelas 3 sekolah menengah
atas, saat hujan yang dengan indahnya memperdengarkan senandung gemerciknya dan
menjadi saksi janjiku kepadanya. Itu setahun yang lalu namun saat ini aku
adalah mahasiswa semester 2 fakultas sastra indonesia dan dia tidak melanjutkan
kuliahnya kerena alasan ekonomi.
“Aku tidak mengerti
mengapa kau begitu suka memandangi hujan yang menjengkelkan. Sangat
membuang-buang waktu.” Sebuah suara mengejek mengejutkanku.
“Ahh sudahlah, Rizky. Jangan menggangguku, kau
merusak suasana hatiku.” Kataku mengabaikannya dan kembali memandang hujan.
“Ah. Jangan bilang
kau sedang mengingat kenangan kau dengan yang kau sebut kekasih sejatimu itu?”
dia masih saja menggodaku.
“Bukan urusanmu.”
Kataku ketus.
“Ah tentu saja kau
sedang mengingat kekasih penjaga toko itu.” Dia mengabaikan ucapanku dan malah
mencela Ardi.
“Lalu kenapa kalau
dia penjaga toko? apa itu masalah hah?!” suaraku mulai meninggi, aku tidak suka
ketika ada yang mencela Ardi terlebih lagi orang seperti Rizky.
“Tentu saja itu
masalah, Airis. Kau pikir bisa hidup hanya dengan cinta?” katanya sambil
menggoreskan senyum sombongnya.
“Oh jadi segalanya
ini tentang uang. Lalu apakah uang bisa membeli cinta? Hah?!” aku berdiri
berkacak pinggang dengan suara meninggi, menatapnya marah.
“Tentu saja. Uang
adalah kebahagiaan, tidak ada kebahagiaan saat uang tak ada bersamanya.”
Jawabnya masih dengan kesombongannya.
“Tidak ada Rizky, kebahagiaan
bisa kau dapat dengan orang kau cintai meskipun uang tak bersamanya.” Timpalku
masih tak ingin kalah darinya.
“Baiklah, terserah
darimu Airis. Suatu saat nanti kau akan mengakui kebenaran ucapanku.” Katanya
dan belalu pergi.
“Tidak akan pernah Rizky!!!”
teriakku.
Aku mengerti mengapa
ia berkata seperti itu, karena uang bukanlah masalah baginya. Ia hidup dengan
gelimang harta, jadi itulah mungkin membuatnya berpikir semuanya bisa dibeli
dengan uang termasuk CINTA.
***
Aku pulang ke rumah
masih dengan perasaan jengkel. Benar-benar Rizky selalu berhasil mempengaruhi
suasana hatiku. Aku tidak tahu mengapa ia selalu saja menggangguku dan
membuatku jengkel bukan kepalang. Dasar laki-laki bodoh. Ah. Tidak, dia adalah
laki-laki yang pintar. Aaahhh. Rizky Wikrawardhana.
Aku memasuki rumah
dengan kening berkerut, ada mobil hitam terparkir di depan rumah. Siapa? tidak
biasanya ada tamu.
“Ada tamu yah bunda?” tanyaku pada bunda yang
sedang asyik nonton.
“Oh itu. Temannya
ayahmu,” bunda tidak melihat ke arahku, “teman ayah waktu masih tanah
kelahirannya dulu.” Jawab bunda yang kini sudah melihatku.
Aku mengangguk
mengerti, kalau teman ayah di tanah kelahirannya tidak ada yang ku kenali. Ayah
lahir di Bendo, Jawa Timur sedangkan saat ini kami tinggal di kota Makassar,
Sulawesi Selatan dan kami pindah sebelum aku lahir, jadi aku tidak mengetahui
teman-teman ayah di sana.
“Kamu ucap salam
sana, dia sudah seperti saudara ayahmu.” Perintah ibu.
Akupun mengampiri
mereka yang duduk di halaman belakang rumah dan mereka tidak berdua ada
laki-laki lain. Aku tidak melihat wajahnya karena dia duduk membelakangiku.
Ayah tersenyum saat melihatku dan ketiga orang itu sekarang melihatku. Mataku
langsung tertuju pada laki-laki yang sedang menatapku, laki-laki yang tadi
duduk membelakangiku dan tiba-tiba aku berpikir ingin memilikinya.
“Ayah.” Ucapku dan
mencium punggung tangannya, begitupun dengan teman ayah.
“Ini Airis, putriku
Herman.” Ucap ayah memperkenalkanku
“Dia sudah sangat
besar. Sekarang kelas berapa nak?”
“Mahasiswa semester 2
paman.” Jawabku.
“Aku mengira masih
SMA ternyata sudah mahasiswa.” Ucap paman Herman. “Hanif Baru lulus kuliah loh.”
Kata paman Herman ke ayah.
“Jadi sekarang Hanif
kerja apa?” tanya ayah pada Hanif.
“Dosen arsitek
paman.” Jawab Hanif sopan.
“Katanya baru lulus
kuliah?” ayah terlihat bingung , akupun begitu.
“Kemarin ada tes
dosen paman, aku tepilih.” Jelas Hanif.
“Wah beruntungnya
kamu nak.” Ucap ayah senang.
“Beruntung sih Rif,
tapi dipikirannya tuh belajar melulu. Udah lupa dianya nyari jodoh,” ayah Hanif
mengeluh, “buat apa belajar melulu tapi lupa nikah. Airis bagaimana? Udah mau
nikah?” Dek. Pertanyaan macam apa itu? Aku terkejut dengan pertanyaan paman
Herman. Jawaban apa yang harus ku berikan?
“Memangnya kenapa
Man? kamu mau jodohin Hanif bareng Airis?” ini lagi ayah, pertanyaan apa lagi
tuh? Ku lirik Hanif yang sama terkejutnya denganku.
“Rencananya begitu
Arif, kalau Airisnya belum punya calon.” Jawab paman Herman dengan entengnya.
Aku heran dengan mereka, bagaimana bisa mereka membicarakan perjodohanku dengan
hanif sedangkan kami berdua ada disini bersamanya.
“Tentu saja Airis
belum punya calon,” ayah juga menjawab tanpa beban. Ya ampuuunnn mereka. Ingin
rasanya aku mengubur diriku saat ini juga. Ayah juga, iakan tahu tentang Ardi.
Mengapa ia berkata seolah tak tahu tentang Ardi? “bagaimana dengan Hanif?”
“Tentu saja tidak
ada. Bagaimana pendapatmu Hanif?” Paman Herman bertanya pada Hanif, aku yakin
Hanif tidak akan setuju.
“Aku hanya anak ayah,
semuanya terserah darimu,” pernyataan macam apa itu? Aku terkejut dengan
perkataan Hanif. Orang macam apa dia dengan mudahnya mengiyakan? Aku
benar-benar menatapnya kesal, tapi tak dapat ku pungkiri kekagumanku terhadap
kepatuhannya. “Ayah tahu yang terbaik untukku.” Lanjutnya, ingin rasanya aku menguburkan
diriku saat ini juga. Manusia dari planet mana dia? dan juga mengapa tak ada
yang bertanya pendapatku?
“Bagaiman Arif, cocok
tidak anak-anak kita?”
“Tentu saja Herman,” jawab
ayah mantap.
“Ayah, aku masuk
dulu. Masih ada tugas kuliah yang belum diselesaikan,” pamitku, aku tahu ini
cara pengecut menghindar. Ayah mengangguk. “Paman Herman aku pamit ke dalam dulu.”
“Iya nak.” Timpal
paman Herman lembut. Selanjutnya aku melangkah pergi setelah memberikan senyum
anggukan ke Hanif dan dibalasnya dengan senyum anggukan pula.
Aku membaringkan
tubuh lelahku di tempat tidur, ingatanku kembali ke kejadian beberapa waktu
lalu. RIZKY. Laki-laki menjengkelkan, teman sekampusku. Sejak pertama kali aku
menginjakkan kakiku di kampus, mataku langsung tertuju padanya. Keceriaan
selalu berada dengannya, senyum terus tergores di bibir indahnya, pesonanya tak
dapat ku hindari, namun mendekatinya begitu sulit, ia adalah laki-laki dengan
kecerdasan dan kekayaan berada padanya, dan dia laki-laki menjengkelkan. Namun
tak dapat ku pungkiri debar jantungku saat berada di dekatnya, saat matanya
menatapku tak dapat ku pungkiri bahwa aku menyukainya lebih dari rasa suka itu
sendiri diartikan. HANIF. Satu nama laki-laki dengan tutur kata yang
mengagumkan, paras yang mempesona dengan kesuksesan berada dalam genggamannya.
Laki-laki calon imam-ku, pilihan ayah. Dia yang membuat jantungku berdebar
lebih cepat saat berada di dekatnya, dia yang membuatku berpikir ingin
memilikinya. Lantas apakah ini berarti aku menyukainya? apakah ini berarti aku
mencintai ia pada pandangan pertamaku? lalu bagaimana dengan Ardi? dia adalah laki-laki
yang sangat ku cintai, dialah yang membuatku merasakan cinta untuk pertama
kalinya. Apakah yang sebenarnya terjadi padaku? apakah aku mencintai ketiganya?
bisakah seorang wanita mencintai laki-laki dalam satu waktu? jawabannya ‘YA’.
***
Baru saja aku keluar
dari kampusku saat seorang wanita paruh baya menghampiriku. Aku merasa tidak
mengenalnya.
“Kamu Airis nak?”
tanyanya sopan dengan suara lembut keibuan.
“Iya bu.” Aku menjawab.
“Boleh ibu meminta
waktumu sebentar saja.” Aku mengangguk setuju, kamipun berjalan menuju mobilnya
dan menuju sebuah kafe.
***
Kepalaku masih
berputar memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu saat aku pulang ke rumah
dan ku dapati Hanif bersama paman Herman sedang berbincang dengan kedua orang
tuaku.
“Airis sudah pulang.
Ganti baju sana nak, Hanif ingin mengajakmu jalan-jalan.” Ingin rasanya aku
menolak, pikiran dan tubuhku masih terasa lelah, namun ku lihat Hanif yang sangat
ingin mengajakku jalan jadi ku putuskan tidak menolak.
Kami menuju mall,
Hanif mengajakku belanja namun ku tolak karena aku merasa kakiku tak dapat
melangkah untuk berbelanja, jadilah sekarang kami duduk di kafe. Hanif dengan
cappucinonya dan aku dengan cokelat hangatku. Kami diam, sibuk dengan pikiran
masing-masing hingga Hanif berucap mengejutkanku.
“Ayah dan ayahmu
sudah memutuskan tanggal pernikahan kita,” katanya dan membuatku terkejut
hingga tak mampu berucap. “21 November.” Lanjut Hanif yang membuatku semakin
terkejut.
“Apa?! bukankah ini
sudah tanggal 28 September? itu berarti hanya tersisa satu bulan lebih?”
“Ya.” Jawabnya, aku menutup
wajahku. Kepalaku tersa berat, mengapa tidak ada yang meminta persetujuanku?
“Aku tahu ini sulit
untukmu dan itulah mengapa aku mengajakmu ke sini,” aku melihat ke arahnya yang
juga sedang menatapku, “aku sudah setuju dengan pernikahan ini, bukan hanya
karena kepatuhanku pada ayah tapi karena aku juga memang sudah menyukaimu sejak
pertama kali melihatmu,” Hanif menarik napas, aku cukup terkejut dengan
pengakuannya jadi aku menunggunya melanjutkan, “tapi aku belum mendengar pendapatmu.”
Ungkapnya.
“Aku masih ingin
kuliah.” Kataku asal.
“Itu bukan masalah
buatku Airis, aku berjanji akan tetap mengizinkanmu kuliah hingga kau tak ingin
lagi kuliah dan semuanya aku yang akan menanggungmu sebagai suamimu.” Timpal Hanif
dengan sangat yakin.
“Baiklah aku tahu
kamu mampu melakukannya dengan pekerjaanmu saat ini, tapi bisakah kamu
memberiku waktu beberapa hari untuk menjawabnya? karena saat ini bukan hanya
ada kamu dalam hatiku, ada Rizky teman sekampusku dan juga Ardi kekasihku sejak
aku duduk dibangku kelas satu sekolah menengah atas.” Hanif terlihat terkejut
dengan pengakuanku.
“Apakah aku bisa
berharap? Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?” Hanif bertanya lemah.
“Ya. Kamu bisa
berharap karena bukan hanya kamu sudah memiliki restu orang tuaku tapi sejujurnya
akupun menyukaimu sejak aku melihatmu di halaman belakang rumahku, tapi aku
tidak bisa menjawabmu saat ini. Mungkin aku butuh 3 hari atau seminggu.”
“Baiklah aku akan
menunggu jawabanmu.” Setelah itu kamipun diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sepulang dari jalan
bareng Hanif, aku beristirahat dan membaringkan tubuh lelahku di tempat tidur. Pikiranku
melayang pada kejadian sepulang kuliah tadi. Ternyata ibu paruh baya itu adalah
ibunya Rizky. Kami berbincang lama di kafe itu hingga akhirnya ibunya Rizky meminta
sesuatu dan mengejutkanku. Ibunya Rizky mintaku menikah dan mencintai Rizky
sama seperti Rizky mencintaiku. Aku terkejut, ternyata Rizky sudah mencintaiku
sejak pertama kali ia melihatku saat OSPEK. Masih sangat jelas ku ingat
perkataan ibunya Rizky.
“Ibu kini sudah tua,
terlebih lagi ibu ada penyakit jantung. Sewaktu-waktu ibu bisa saja meninggal. Itulah
mengapa ibu sangat ingin melihat anak ibu Rizky satu-satunya menikah dengan
perempuan yang dicintainya dan hanya kamulah perempuan yang dicintainya. Sejak dulu
ibu tidak pernah mendengar Rizky mencintai seseorang, barulah saat ini ibu
mendengarnya dan dia menceritakan segalanya tentangmu,” ibu Rizky bernapas
sebelum melanjutkan lagi, “Ibu tahu kamu tidak mencintai Rizky, tapi ibu mohon
menikahlah dengannya dan nanti kamu akan bisa belajar mencintainya. Rizky
sangat mencintaimu, cuma dia anak ibu satu-satunya, ibu tidak bisa melihatnya
bersedih terus menerus. Apapun yang kamu inginkan, akan ibu berikan. Rumah,
mobil, biaya kuliah atau kamu ingin kuliah di luar negeri, ibu akan
memberikannya, apapun yang kamu inginkan asal kamu menikah dengan Rizky.
Pecayalah Airis, Rizky akan membahagiakan kamu, Rizky selalu mendahulukan
kebahagiaan orang-orang yang dicintainya daripada kebahagiaannya sendiri. Kamu tidak
usah menjawab sekarang, pikirkanlah dulu baik-baik.” Terang ibu Rizky.
Aku tidak ingin
bersatu dengan Rizky dengan cara seperti ini, andai saja Rizky mengungkapkan
perasaanya sejak dulu mungkin aku bisa menerimanya karena akupun sudah
mencintainya sejak lama atau andai saja cintaku terhadapnya tidak ada akan ku
terima dia, bukan karena cinta mampu dibeli oleh uang tapi karena ini
permintaan seorang ibu yang tulus mencintai anaknya. Lagipula ada banyak orang
yang menikah dengan cinta sepihak tapi mereka tetap hidup bahagia dan berakhir
dengan saling mencintai. Akan kupilih
uang andai saja cinta tak ada bersamanya.
***
Aku bangun dengan
kepala pening untung saja hari ini tidak ada mata kuliah jadi aku tidak perlu
ke kampus. Aku melihat bunda sedang sibuk di dapur, aku duduk meminum secangkir
teh.
“Ardi ada di depan
Airis,” aku nyaris saja menyembur tehku, “Dia melarang ibu membangunkanmu
jadilah dia menunggu dan sekarang sedang berbincang-bincang dengan ayahmu. Cepat
mandi dan temui dia.” Aku berdiri bergegas.
“Airis,” bunda
memanggilku saat aku berlari menaiki tangga menuju kamarku, “Hanif sudah
menceritakan semuanya kemarin, bunda berharap kamu bisa mengambil keputusan
yang cerdas.” Ucap bunda dan setelah itu aku kembali berlari menuju kamarku.
***
Saat ini aku dan Ardi
duduk berhadapan ditemani cokelat hangat, aku melihat Ardi yang sedang menunduk
menatap cokelat hangatnya. Aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu, jadilah aku
menunggunya.
“Aku sudah mendengar
dari ayahmu tentang pernikahanmu,” ungkapnya, aku sudah menduga ayah sudah
menceritakannya, “Bagaimana keputusanmu?” tanyanya dan aku menggeleng.
“Jangan terlalu lama memikirkan masalah Airis,
cepatlah buat keputusan. Itu akan membuatmu tenang. Ikuti kata hatimu.” Ucap Ardi
menggenggam kedua tanganku. Aku diam memikirkan. Lama aku memikirkan, hingga
akhirnya aku menemukan keputusanku.
“Baiklah Ardi.
Maafkan aku, mungkin lebih baik aku memilih Hanif pilihan orang tuaku.” Kataku dan
menunduk, aku tidak sanggup melihat ke arah Ardi.
“Baiklah, aku
mengerti. Semoga hidupmu bahagia, jangan memikirkan aku, aku berjanji akan
menemukan yang lebih baik darimu.” Aku tahu Ardi hanya ingin menyemangatiku,
aku dapat mengetahui ada kesedihan dalam suaranya.
“Maafkan aku sudah
melanggar janjiku. Aku mencintaimu.” Ucapku dan kulihat ia mengangguk.
Jika aku memilih Ardi
pastilah orang tuaku tak akan setuju karena meraka pasti berpikir Ardi tidak
dapat membahagiakan aku karena keadaan ekonominya dan fakta bahwa cinta harus
ada uang bersamanya itu menyakitkan. Akan
kupilih cinta andai saja uang ada bersamanya.
***
Sepulang jalan dengan
Ardi aku menuju rumah Rizky, ibunya menyambutku dengan bahagia tapi sayang aku
memberikan kabar yang tak membahagiakan. Ibu Rizky sedih tapi ia mengerti, aku
juga memberitahukan perihal pernikahanku dengan laki-laki pilihan orang tuaku.
Di rumah aku langsung
menghampir bunda dan memeluknya. “Katakan iya pada orang tua Hanif, bunda.” Ucapku
dan seketika air mata bunda pecah. Setelah memberitahukan bunda, aku menuju
kamarku dan ku kirimi pesan Hanif.
To : Hanif
IYA.
Selang beberapa
menit, satu pesan baru masuk.
From : Hanif
Terima
Kasih. {}
Kupilih Hanif bukan
saja karena dia pilihan orang tuaku tapi karena aku juga mencintainya dan ia
juga sudah memiliki kesuksesan dalam genggamannya. Andai saja pilihan untuk
menikah dengan Hanif tak pernah ada, mungkin aku tak akan memilih cinta dan
uang dalam waktu yang sama. Tak akan
kupilih keduanya andai saja pilihan tak pernah ada.
Akhirnya pilihan
jatuh pada CINTA yang ada UANG bersamanya, bukan UANG yang ada CINTA
bersamanya, ataupun CINTA namun tak ada UANG bersamanya. Jadi pilihlah Cinta
terlebih dahulu UANG adalah yang kedua bukan UANG terlebih dahulu barulah CINTA
yang kedua.
~
SELESAI ~
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
Rabu, 21 Oktober 2015
NAMUN ...
NAMUN ...
Meskipun
lidah memungkiri
Namun
bibir tak mampu berlik
Meskipun
perangai berpretensi
Namun
tindakan menolak
Meskipun
mata kuasi mengelakkan
Namun
tetes bening tak mampu mengingkari
Meskipun
pikiran ingin meluputkan
Namun
hati tak dapat mendustai
~Jinan Lahfah~
Langganan:
Komentar (Atom)