Kata demi kata mengalir dengan lancarnya tak terhambat, ada wadah yang menjadi penampung-bukan tak berujung.
Mungkin dia berkata lucu, namun aku menafsirkan hinaan.
Mungkin dia sedang bingung, namun aku menangkap sebuah kejujuran.
Mungkin dia berkata dalam kondisi tak berpikir, namun aku sedang tajam menelaah.
Lalu rasa apa ini?
Aku percaya, kata yang datangnya bukan dari ketenangan mengandung banyak kejujuran.
Aku bukan pemikir yang dalam.
Aku tidak duduk membahas isu-isu atau ilmu yang datangnya dari bacaan.
Buku tak banyak ku selesaikan, membaca hanya ku lakukan ketika perlu.
Aku tidak mengupas buku-buka mereka yang berpikir kritis.
Aku asing pada ungkapan-ungkapan filsuf.
Aku tak kenal pada istilah-istilah ideologis.
Lalu mengapa? Apa yang sedang kau permasalahkan dariku?
Kenalpun, kita hanya sebatas nama.
Aku tak memiliki penampilan yang menarik.
Aku tak punya anggun yang melekat.
Ceroboh adalah pendampingku.
Aku tak punya plester pada tuturku.
Umpatan adalah temanku.
Aku tak memiliki bunyi semut.
Pengecil suara tak pernah tertanam pada bagian tubuhku.
Aku tak kenal orang se-kota.
Menyendiri adalah bagianku.
Aku tak punya lembut pada hatiku.
Keras kepala adalah gelarku.
Lalu mengapa? Apa yang sedang kau permasalahkan dariku?
Kita berdiri pada karakter masing-masing.
Aku tak punya percaya, katakanlah seperti itu.
Aku tak paham bercerita.
Kisahku hanya hitam dan putih.
Aku tak mengerti berbagi.
Menyimpan adalah caraku melalui.
Aku tak tahu bersandar.
Berdiri adalah pandanganku.
Aku tak pandai berbaur.
Benteng adalah pelindungku.
Lalu mengapa? Apa yang sedang kau permasalahkan?
Kita tak memiliki jiwa yang sama.
Salahkah ketika mimpi ku rangkai dalam pikiranku?
Mencoba melalui dengan sebuah rangkulan.
Tak perlu tahu mereka yang datang.
Tak perlu kenal pada keadaan.
Tak perlu penejelasan untuk paham.
Ketika semuanya menjadi satu bertemu, rasa apa ini?
